No. 24 Partai Persatuan Pembangunan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Terima kasih atas kunjungan ke blog PPP Kec. Cicurug. Blog ini bertujuan untuk memperluas pengetahuan kader & simpatisan PPP di Kec. Cicurug khususnya dan bagi kader & simpatisan PPP Kab. Sukabumi secara umum.
Apabila terdapat saran dan masukan dapat ditujukan ke email ppp_cicurug@yahoo.co.id.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.


21 Juni 2008

Menakar Potensi Pemilih 2009

Oleh: Suwardiman; Dalam dua tahun terakhir proses dan sistem politik Indonesia berubah menjadi lebih demokratis. Di tengah segala kekurangannya, Pemilu 2004 menuai pujian karena berjalan lancar dan aman. Namun, yang perlu dicatat adalah apatisme masyarakat terus meningkat.Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2004 merosot dua kali lipat lebih dari sebelumnya. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang diharapkan mampu membangkitkan antusiasme dan semangat baru pada tataran lokal di banyak daerah ternyata juga setali tiga uang. Tingkat partisipasi pemilih rendah! Lalu, bagaimana prospek pada Pemilu 2009? Sepanjang sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejak tahun 1971 hingga Pemilu 2004, tren persentase pemilih yang menggunakan hak pilih memang terus melorot. Titik penurunan mulai terjadi secara signifikan pada Pemilu 1999, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya naik menjadi 7,2 persen dibandingkan dengan Pemilu 1997 (6,4 persen).Saat semangat demokratisasi menggiring perubahan yang lebih esensial dengan menyentuh perubahan konstitusi, aturan tentang pemilu dalam UUD 1945 juga diubah. Mulai tahun 2004 pemilu diselenggarakan secara langsung. Ironisnya, antusiasme berpolitik masyarakat turun semakin tajam justru saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya.Rangkaian pemilu yang diselenggarakan langsung secara berturut-turut pada tahun 2004 menorehkan catatan semakin banyak pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam pemilu legislatif, sedikitnya 84 persen pemilih terdaftar yang menggunakan suaranya. Kemudian pada pemilu presiden partisipasi masyarakat turun menjadi 78,23 persen. Pada pemilu presiden putaran kedua, tingkat partisipasi pemilih melorot lebih jauh lagi menjadi 76,63 persen.Fenomena ini seolah menguatkan pertanyaan Anthony Giddens (Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives, 1999), haruskah kita menerima, lembaga-lembaga demokrasi tersingkir pada titik di mana demokrasi justru marak?Sebenarnya fenomena apatisme masyarakat terhadap pemilu bukan hanya khas Indonesia. Di negara-negara yang jauh lebih matang demokrasinya terjadi penurunan antusiasme politik yang lebih besar. Giddens menyebutnya sebagai paradoks demokrasi. Ketika demokrasi menyebar ke seluruh dunia, justru di negara-negara yang demokrasinya sudah maju timbul kekecewaan atas proses demokrasi. Kepercayaan terhadap politisi menurun. Orang yang menggunakan hak pilih dalam pemilu menyurut. Semakin banyak orang yang tidak tertarik pada politik parlemen, terutama dari kelompok muda.Untuk fenomena di Indonesia, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, menyatakan apatisme masyarakat timbul akibat kekecewaan karena tidak adanya perubahan signifikan yang dirasakan rakyat. Saat reformasi digulirkan, harapan masyarakat luar biasa besar. Namun, elite yang berkuasa tidak membawa perubahan yang lebih nyata dan bermanfaat bagi masyarakat. Masyarakat lalu kehilangan kepercayaan pada politisi dan prosedur demokratik.Partai politik sebagai salah satu pemegang kunci untuk membangun kepercayaan konstituennya harusnya bisa menumbuhkan harapan perubahan. Namun, seperti yang diungkap Kacung, kepercayaan masyarakat pada parpol justru terus merosot. Mayoritas parpol terbukti hanya menyentuh konstituennya di saat-saat menjelang pemilu, dengan tujuan pragmatis mengumpulkan suara. Setelah pesta usai, peran parpol seperti hilang begitu saja.Jika perilaku parpol tak berubah, boleh jadi apatisme masyarakat pada Pemilu 2009 akan meningkat lebih jauh, terutama di kelompok pemilih muda. Padahal, sebagai kelompok pemegang jumlah terbanyak, kelompok muda ini merupakan sasaran paling potensial untuk dibidik pada Pemilu 2009.Para pemilih muda yang menjadi potensi besar dalam Pemilu 2009 adalah pemilih pemula dan yang telah mengikuti satu atau dua pemilu sebelumnya, yaitu mereka yang berusia 18 sampai 30-an tahun.Catatan proyeksi penduduk Indonesia yang dibuat Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 sebesar 231,3 juta jiwa, 70 persen di antaranya adalah kelompok usia pemilih. Kelompok pemilih muda tercatat merupakan jumlah terbanyak di antara kelompok usia pemilih. (Grafik)Pada Pemilu 2009, dari sekitar 170 juta penduduk, 59 persen di antaranya adalah pemilih yang berusia 20-40 tahun. Inilah kelompok yang paling berpotensi untuk dirangkul. Namun, kelompok ini juga yang rentan menjadi kelompok golongan putih alias golput. Dalam kelompok ini banyak terangkum pemilih dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda yang lebih kritis daripada kelompok usia lain. Meskipun tidak ada angka pasti, sebagian pengamat yakin sebagian besar golput berasal dari kelompok ini.Proyeksi penduduk Indonesia empat tahun ke depan juga menampakkan pergeseran proporsi penduduk desa dan kota. Konsentrasi penduduk diproyeksikan beralih ke wilayah perkotaan. Jika selama ini konsentrasi penduduk lebih banyak di daerah pedesaan, empat tahun ke depan proporsi penduduk kota melesat jadi 54,2 persen dari total 234 juta jiwa penduduk Indonesia. Angka itu cukup signifikan dibandingkan dengan proporsi penduduk kota tahun 2005 yang hanya 48 persen.Pergeseran itu boleh jadi akan menguatkan perubahan perilaku politik masyarakat yang terekam selama ini. Kacung menyimpulkan, perilaku politik di tengah masyarakat pemilih di Indonesia mulai berubah selama satu dekade terakhir, seiring dengan arus kebebasan dan upaya demokratisasi yang makin gencar.Sebagai gambaran, di akhir periode Orde Baru, Afan Gaffar dalam buku Javanese Voters (1992) melakukan studi tentang perilaku politik pemilih di daerah pedesaan di Jawa. Di antaranya tercatat pola perilaku pemilih di wilayah pedesaan yang masih kental dengan isu sosioreligi. Keputusan mereka memilih lebih banyak dipengaruhi semangat budaya dan keagamaan, polarisasi masyarakat (khususnya di Jawa) yang pada dasarnya masih mengikuti prinsip aliran. Hal lain yang biasanya memengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan adalah kuatnya peran pimpinan lokal, seperti lurah atau kepala desa.Saat ini, perilaku politik itu bukan sama sekali tidak lagi menjadi orientasi yang melatarbelakangi pilihan masyarakat. Namun, gencarnya teknologi yang mengantar informasi sampai ke pelosok daerah boleh jadi mengubah paradigma berpikir masyarakat dan sedikit banyak memberi peran dalam proses pendidikan politik masyarakat.Suasana yang lebih bebas dan masyarakat yang lebih kritis juga menyebabkan pemilih lebih rasional dalam menentukan pilihan. Menurut Kacung, pemilih berdasarkan patronase yang sebelumnya kuat di daerah pedesaan mulai berkurang. Masyarakat lebih mampu melihat performa pimpinan serta parpol, dan ini yang lebih melatarbelakangi pilihan mereka.Realitas itu rupanya disadari sebagian partai baru yang berlaga pada Pemilu 2004. Partai baru seperti Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera cenderung berhasil merangkul pemilih di daerah perkotaan. Sementara partai-partai lama lebih banyak dipilih warga pedesaan.Isu-isu segar yang diusung partai-partai baru tampaknya cenderung menjadi pilihan pemilih perkotaan. Pemilih dari wilayah inilah yang diproyeksikan mendominasi bursa pemilih tahun 2009.Padahal, berdasarkan pengalaman sebelumnya, pemilih golput di wilayah perkotaan cenderung lebih besar. Lalu, bagaimana Pemilu 2009 nanti? Adakah perubahan yang meningkatkan antusiasme pemilih? Lihat saja…. (Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: