No. 24 Partai Persatuan Pembangunan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Terima kasih atas kunjungan ke blog PPP Kec. Cicurug. Blog ini bertujuan untuk memperluas pengetahuan kader & simpatisan PPP di Kec. Cicurug khususnya dan bagi kader & simpatisan PPP Kab. Sukabumi secara umum.
Apabila terdapat saran dan masukan dapat ditujukan ke email ppp_cicurug@yahoo.co.id.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.


06 Juli 2008

Dilema Menjelang Pemilu

Kurang dari setahun menjelang Pemilu 2009, Kabinet Indonesia Bersatu menghadapi problem serius. Segera dimulainya masa kampanye pemilu legislatif membuat sebagian menteri kabinet yang berasal dari partai politik diperkirakan akan sibuk berkampanye bagi partai masing-masing. Lalu, mungkinkah pemerintah bisa bekerja optimal jika para menteri dari partai meninggalkan Presiden dan mengambil "cuti bersama" untuk berkampanye? Berbeda dengan masa kampanye pemilu-pemilu sebelumnya yang relatif pendek, Undang-Undang (UU) Pemilu yang baru (No 10 Tahun 2008) memberi kesempatan bagi partai peserta pemilu berkampanye selama hampir setahun hingga menjelang Pemilu 2009.Apabila jadwal tahapan penyelenggaraan pemilu konsisten dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), masa kampanye pemilu legislatif sudah akan dimulai pada pekan pertama Juli 2008 ini. Sesuai amanat UU No 10 Tahun 2008, masa kampanye dimulai tiga hari sejak KPU menetapkan partai-partai Pemilu 2009 atau tiga hari setelah tanggal 3 Juli 2008 (hari ini)??tenggat waktu terakhir penetapan partai pemilu sesuai jadwal awal KPU. Problem UU Pemilu Perpanjangan waktu masa kampanye yang diamanatkan UU Pemilu yang baru sebenarnya cukup positif jika diasumsikan bahwa masa kampanye merupakan kesempatan bagi partai-partai untuk mempromosikan program-program politik mereka dalam Pemilu 2009 mendatang.Promosi tersebut lebih dibutuhkan lagi oleh partai-partai baru yang hendak memperkenalkan identitas mereka jauh-jauh hari sebelum pemilu. Di sisi lain, masa kampanye yang cukup lama juga memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mengenal partai-partai dan para kandidat yang dicalonkan sebagai anggota legislatif. Meski demikian, UU Pemilu yang baru berpotensi menghambat kerja pemerintah berkaitan dengan pengaturan kampanye para pejabat negara seperti presiden, wakil presiden, menteri-menteri, dan para kepala serta wakil kepala daerah. Pasal 85 UU No 10 Tahun 2008 hanya mengatur bahwa para pejabat tersebut bisa turut serta berkampanye sepanjang tidak menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya dan dapat mengambil cuti di luar tanggungan negara. Persoalannya menjadi sangat serius jika para pejabat negara dan daerah dari partai memilih mengambil cuti untuk kampanye dan meninggalkan tanggung jawab mereka selaku pejabat publik. Ironisnya, UU Pemilu juga tidak mengatur sanksi yang tegas bagi pejabat yang melanggarnya. Dalam konteks Kabinet Indonesia Bersatu,tentu sulit dibayangkan bahwa pemerintahan hasil Pemilu 2004 ini bisa bekerja efektif jika 19 orang menteri yang berasal dari partai memilih mengambil cuti untuk kampanye dalam rangka meraih kursi sebanyak- banyaknya dalam Pemilu 2009. Persoalan akan kian rumit jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla turut pula mengambil cuti untuk berkampanye memenangkan partai mereka.Belum lagi memperhitungkan kemungkinan penyalahgunaan fasilitas negara atau fasilitas jabatan seperti sering terjadi dalam pemilu-pemilu sebelumnya.

Dilema Kabinet
Persoalannya mungkin tidak seburuk perkiraan di atas jika sejak awal format kabinet lebih berorientasi presidensial ketimbang skema koalisi model parlementer seperti realitas politik saat ini. Kabinet Indonesia Bersatu tidak hanya mengakomodasi partai-partai pengusung pencalonan Yudhoyono-Kalla pada 2004 seperti PD, PBB, PKS, dan PKPI, melainkan juga partai-partai yang tidak berkeringat seperti Golkar, PPP, PKB, dan PAN.Ketelanjuran Presiden Yudhoyono membentuk kabinet koalisi partai-partai justru menjadikan Menko Polkam era Megawati ini "terpenjara" oleh partai-partai pendukungnya. Dilema kabinet berikutnya adalah bahwa meskipun pemerintah didukung oleh koalisi mayoritas partai di DPR, Presiden tidak bisa mengontrol partai-partai karena ?kontrak politik? antara Yudhoyono dan para menteri dari partai bersifat individual ketimbang institusional.Fenomena maraknya hak interpelasi dan hak angket DPR terhadap kebijakan pemerintah yang turut disokong partai-partai pendukung pemerintah mengindikasikan kecenderungan tersebut. Karena itu pula tidak mengherankan jika misalnya Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Suryadarma Ali yang juga pimpinan PPP "berani" menjenguk pimpinan Forum Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab di tahanan Polda Metro Jaya. Padahal Ketua FPI tersebut ditangkap justru atas perintah tak langsung Presiden Yudhoyono pascainsiden Monas. Realitas ini sekurang-kurangnya memperlihatkan bahwa para menteri yang berasal dari parpol berpotensi mbalelo dari tugas dan tanggung jawab mereka selaku pembantu Presiden jika tidak diatur dalam koridor yang lebih jelas dan tegas mengenai hubungan antara partai dan para menteri dari partai dalam konteks kepresidensial.

Perlu Ketegasan Presiden
Salah satu jalan keluar yang sering diwacanakan adalah agar para elite partai yang diangkat sebagai pejabat publik di lingkungan eksekutif memilih salah satu: menjadi pejabat publik atau pengurus partai. Kalau tidak, kinerja pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, hampir pasti akan terganggu oleh konflik kepentingan para politikus yang merangkap sebagai pejabat publik. Hanya saja, gagasan semacam ini tak pernah direspons secara positif oleh para politikus partai di DPR selaku penyusun UU. Bagi partai-partai, jabatan publik di pemerintahan bisa diibaratkan sebagai ?ATM berjalan? dalam rangka memperbesar pundi-pundi partai menjelang pemilu. Masih tetap maraknya kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat publik akhir-akhir ini, termasuk penangkapan terhadap sejumlah anggota DPR, mencerminkan kecenderungan demikian. Jalan keluar lain yang bersifat jangka pendek adalah sikap tegas Presiden Yudhoyono terhadap para menteri yang berasal dari partai agar tidak berkampanye selama pemerintahan hasil Pemilu 2004 belum berakhir.Itu berarti para menteri yang hendak berkampanye bagi partai harus mundur dari jabatannya kendati tidak diatur oleh UU Pemilu. Toh, sesuai konstitusi, pengangkatan dan pemberhentian para menteri negara merupakan otoritas penuh dari Presiden. Kalau tidak, kita akan menyaksikan peristiwa yang lucu menjelang berakhirnya pemerintahan hasil Pemilu 2004,yakni ketika rapat kabinet hanya dihadiri sebagian menteri karena sebagian lain tengah mengambil ?cuti bersama? dalam rangka kampanye bagi partai masing-masing.

(*) Syamsuddin Haris Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI(//ahm)

Tidak ada komentar: